Sabtu, 19 Desember 2015

READING JURNAL PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI UNIT HEMODIALISA RS TELOGOREJO SEMARANG


READING JURNAL
PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI UNIT HEMODIALISA RS TELOGOREJO SEMARANG


Disusun Oleh :
FAHRUDDIN IRWANSYAH
( 15.0315.N )

PRODI PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
PEKAJANGAN – PEKALONGAN
2015/2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga reading jurnal ini akhir ini dapat kami selesaikan . Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bimbingan dari pembimbing akademik PROFESI NERS STIKES MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN dan pembimbing kllinik Unit Hemodialisa RSUD KRATON KABUPATEN PEKALONGAN.
Dan harapan saya semoga laporan reading jurnal ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi reading jurnal  ini agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam reading jurnal ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan reading jurnal ini.

                                                                                       Pekalongan,              November  2015

                                                                                                            Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ ... i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... .. ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I .... PENDAHULUAN .............................................................................. .. 1
A.    Latar Belakang.............................................................................. .. 1
B.     Tujuan............................................................................................ .. 3
C.     Manfaat......................................................................................... .. 3           
BAB II... ISI JURNAL........................................................................................ .. 5
A.    Materi isi pembahasan .................................................................... .. 5
B.     Kelebihan Penerapan Topik Jurnal.................................................. 13
C.     Kelemahan Penerapan topik Jurnal................................................. 13
D.    MetodePelaksanaan topik jurnal dalam intervensi.......................... 13
BAB III   PENUTUP............................................................................................ 20
A.       Kesimpulan..................................................................................... 20
B.       Saran .............................................................................................. 20
REFERENSI
LAMPIRAN JURNAL ASLI

 






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam 2006). Centers Disease Control (CDC) melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999-2004 terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun, mengalami penyakit ginjal kronis (PGK). Persentase ini meningkat bila dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun di negara-negara berkembang.
            Laporan The United States Renal Data System (USRDS) pada tahun 2007 menunjukan adanya peningkatan populasi penderita dengan ESRD di Amerika Serikat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru  gagal  ginjal  setiap  tahunnya.  Di  Negara  berkembang  seperti  Indonesia insiden penyakit  gagal  ginjal  kronik diperkirakan  sekitar  40 sampai  60 kasus setiap  tahunnya.  Menurut  data  dari  Persatuan  Nefrologi  Indonesia  (Perneftri), diperkirakan  terdapat  70.000  penderita  gagal  ginjal  di  Indonesia.  Angka  ini diperkirakan  terus  meningkat  dengan  angka  pertumbuhan  sekitar  10% setiap tahun. (Suwitra, 2007).
            Sebagian  besar  pasien  gagal  ginjal  kronik  (GGK)  harus  menjalani program terapi  simtomatik  untuk  mencegah  atau  mengurangi  populasi  gagal ginjal  terminal  (GGT).  Cara yang umum dan paling sering dipergunakan untuk menangani  gagal  ginjal  di  Indonesia  adalah dengan menggunakan  mesin  cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Dari 70.000 pasien gagal ginjal kronik di  Indonesia, yang terdeteksi menderita gagal  ginjal  kronik  tahap  terminal  yang  menjalani  hemodialisa  hanya  4000 sampai 5000 pasien atau dengan kata lain 5,7 % sampai 7,1% dari total seluruh penderita gagal  ginjal  (Soedarsono, 2004). Namun demikian, menurut Mufliani (2009) jumlah pasien gagal ginjal kronik yang melakukan hemodialisa jumlahnya terus meningkat 5% sampai 10% setiap tahun.
            Hemodialisa (HD) adalah suatu prosedur dimana darah keluar dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialiser. Frekuensi tindakan HD bervariasi tergantung banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, rata-rata penderita menjalani dua sampai tiga kali dalam seminggu, sedangkan lama pelaksanaan hemodialisa paling sedikit empat sampai lima jam setiap sekali tindakan terapi. Penderita yang telah menjalani hemodilisa akan terus menerus melakukan hemodialisa secara rutin untuk menyambung hidupnya (Brunner dan Suddarth, 2002).
            Pasien penyakit ginjal kronik yang menajalani hemodialisa sering mengalami kelemahan otot yang disebabkan adanya pengurangan aktivitas, atrofi otot, miopati otot, atau gabungan diantaranya. Namun, selain otot dapat mengalami kelemahan, otot juga dapat mengalami penguatan.
            Pasien yang menjalani hemodialisis menyebabkan perubahan gaya hidup dalam keluarga. Pasien GGK akan mengalami perasaan kehilangan karena kehidupan normalnya terganggu dengan kegiatan hemodialisis. Keluarga pasien dan sahabat-sahabatnya memandang pasien sebagai orang dengan harapan hidup yang terbatas. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan psikologis pada pasien GGK. Rasa marah yang tidak diungkapkan akan diproyeksikan kedalam diri sendiri dan menimbulkan rasa putus asa (Smeltzer & Bare, 2002, hlm.1402).
            Rasa putus asa akan dirasakan pasien dengan hemodialisis jangka panjang. Pasien sering merasa khawatir akan kondisi sakitnya. Kekhawatiran itu bisa dikarenakan kondisi sakitnya yang tidak dapat diprediksi apakah dapat sembuh total atau tidak, sehingga menimbulkan permasalahan dalam kehidupannya. Pasien biasanya mengalami masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang bahkan impotensi, depresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian (Smeltzer & Bare, 2002, hlm.1402).
            Depresi menjadi salah satu masalah psikologis pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Depresi merupakan penyakit yang melibatkan tubuh, suasana hati, dan pikiran (Shanty, 2011, hlm. 39). Depresi menjadi masalah yang sangat penting pada pasien GGK yang harus diperhatikan.
            Depresi dapat di kurangi dengan melakukan teknik relaksasi. Relaksasi digunakan untuk menenangkan pikiran dan melepaskan ketegangan. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi depresi yaitu dengan menggunakan teknik relaksasi otot progesif atau Progresive Muscle Relaxation (PMR) (Setyoadi & Kushariyadi, 2011, hlm. 108). PMR merupakan teknik relaksasi yang dilakukan dengan cara pasien menegangkan dan melemaskan otot secara berurutan dan memfokuskan perhatian pada perbedaan perasaan yang dialami antara saat otot rileks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011, hlm.314).

B.     Tujuan
1.      Tujuan Umum
     Mengetahui  Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mampu menganalisa jurnal Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
b.      Mengetahui relaksasi otot progresif
c.       Mengetahui tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
C.    Manfaat
1.      Bagi Rumah sakit
Memberikan informasi tentang Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
2.      Bagi bidang keperawatan
Hasil analisa jurnal ini diharapkan menambah wawasan dan pengetahuan perawat tentang pentingnya relaksasi otot progresif selama hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik sehingga pelayanan yang diberikan pada pasien semakin profesional dan berkualitas.
3.      Bagi mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
4.      Bagi pasien
     Mengurangi tingkat depresi klien, menghilangkan perasaan depeesi Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis




BAB II
ISI JURNAL
A.    Materi Isi Pembahasan
1.    Analisis Univariat
a.    Usia
          Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden sebagian besar berada pada kelompok usia dewasa yaitu sebanyak 32 responden (88,9%). Hal ini sejalan dengan penelitian Nurchayati (2010) di RS Islam Fatimah Cilacap yang mengemukakan bahwa rata-rata pasien GGK yang menjalani hemodialisis berusia 44,82 tahun atau menurut Erickson (1964, dalam Kozier, et.al., 2010) masuk dalam kategori dewasa.
          Menurut Rismaharini (2013), GGK banyak terjadi pada usia dewasa. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup orang dewasa yaitu sering mengkonsumsi minuman berenergi supaya tidak mudah cepat lelah dan pola makan yang tinggi lemak.
          Dokter Spesialis Penyakit Dalam di RS Meilia Cibubur, Yovita (2014), menjelaskan bahwa dalam minuman berenergi mengandung kafein, taurin, elektrolit seperti kalium, natrium, vitamin C dosis tinggi dan bicarbonate. Zat-zat tersebut nantinya akan dibuang melalui ginjal dan mempengaruhi keasaman urin, serta bisa memicu metabolisme berlebih dan menimbulkan efek berdebar-debar pada dada. Kadar yang berlebih tersebut apabila tidak diseimbangkan dengan konsumsi air putih serta kondisi ginjal dan jantung yang baik maka akan mengakibatkan gangguan pada fungsi ginjal dan hipertensi.
          Gaya hidup yang tidak sehat pada usia dewasa lainnya yaitu pola makan yang tinggi lemak. Makanan yang tidak sehat tersebut apabila tidak diimbangi dengan konsumsi makanan yang tinggi serat (sayuran dan buah) dalam jumlah cukup akan mengakibatkan gangguan dalam metabolisme lemak. Hal tersebut dapat menyebabkan LDL (Low Density Lipoprotein) dan trigliserida meningkat, dan sebaliknya HDL (High Density Lipoprotein) menurun. Apabila hal itu terjadi, maka akan menimbulkan tumpukan lemak semakin banyak, sehingga menyebabkan hipertensi. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mempengaruhi fungsi ginjal, karena ginjal harus bekerja lebih keras (Alam & Hadibroto, 2007, hlm.37).
b.    Jenis kelamin
          Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden berada pada jenis kelamin laki-laki yaitu 21 responden (58,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Istanti (2009) di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan Manzilah (2011) di RS Hospital Cinere Depok yang menjelaskan bahwa sebagian besar responden GGK yang menjalani hemodialisis berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 62,5% dan 60%. Hasil observasi pada penelitian tersebut menyatakan bahwa beberapa responden laki-laki mempunyai kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol. Hal tersebut yang menyebabkan banyak responden mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya.
          Hipertensi erat hubungannya dengan gaya hidup yang kurang baik, seperti konsumsi garam dapur yang tinggi, merokok dan konsumsi alkohol. Gaya hidup seperti diatas menyebabkan responden rentan terhadap penyakit hipertensi (Indrayani, 2009, hlm.51). Menurut Muttaqin dan Sari (2011, hlm.166), banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik, salah satunya yaitu hipertensi yang berkepanjangan. 
          Penyakit hipertensi dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah dimana awal mulanya terjadi kerusakan vaskuler pembuluh darah, sehingga terjadi perubahan struktur pada pembuluh darah. Apabila pembuluh darah vasokontriksi, maka akan terjadi gangguan sirkulasi pada ginjal (Muttaqin, 2009, hlm.335). Menurut Alam dan Hadibroto (2007, hlm.37) menjelaskan bahwa ginjal bergantung dari sirkulasi darah untuk menjalankan fungsinya sebagai pembersih darah dari sampah tubuh. Apabila terjadi gangguan sirkulasi darah maka akan terjadi hipertensi kronik yang berdampak pada kerusakan ginjal dan fungsinya akan menurun. 
          Hipertensi yang berkepanjangan akan mengakibatkan hipertrofi struktural dan ginjal akan menggunakan nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi. Secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif, sehingga nefron yang mati semakin banyak. Hal tersebut mengakibatkan LFG semakin turun sampai LFG kurang dari 15% maka responden memerlukan terapi pengganti ginjal (Suwitra, 2006 dalam Sudoyo, hlm.570).
c.    Tingkat pendidikan
          Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tingkat pendidikan responden sebagian besar berada pada tingkat pendidikan SMA yaitu 20 responden (55,6%). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Manzilah (2011) yang menjelaskan bahwa dari 40 responden GGK yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Hospital Cinere Depok sebagian besar tingkat pendidikannya adalah SMA atau Perguruan Tinggi sebesar 29 responden (72,5%). Hal ini terjadi karena pada responden yang berpendidikan tinggi (SMA dan Perguruan Tinggi) aktifitasnya lebih padat sehingga mengakibatkan tekanan dan beban stres (ketegangan).
          Stres bermanfaat apabila masih dalam batas yang normal, karena dengan stres seseorang dapat terdorong kemampuannya dalam memecahkan suatu masalah dalam kehidupannya. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan tekanan stres sehingga tekanan tersebut melampaui batas daya tahan individu diantaranya yaitu beban kerja yang menumpuk, banyak tantangan dan banyak persaingan yang harus dihadapi dalam kehidupan. Hal tersebut akan menimbulkan gejala-gejala seperti sakit kepala, mudah marah, tidak bisa tidur serta dapat menimbulkan ketegangan jiwa yang pada akhirnya akan merangsang kelenjar pada ginjal untuk mengeluarkan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih kencang dan kuat sehingga mengakibatkan tekanan darah naik atau hipertensi (Hartono, 2007, hlm.13). Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko penyebab GGK (Muttaqin & Sari, 2011, hlm.166).


d.   Lama menjalani hemodialisis
          Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa repsonden sebagian besar lama menjalani hemodialisis yaitu >3 tahun sebanyak 14 responden (38,9%). Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Suharyanto & Madjid, 2009, hlm.192).
          Responden yang sudah stadium 4 atau LFG kurang 15 %, maka harus menjalani dialisis seumur hidupnya, salah satunya terapi hemodialisis. Hemodialisis merupakan suatu tindakan untuk menangani gagal ginjal baik akut maupun kronik dengan menggunakan mesin dialiser. (Alam & Hadibroto, 2007, hlm.56).
          Pada penilitian ini, peneliti berasumsi bahwa sebagian besar responden lama menjalani hemodialisisnya >3 tahun, hal itu dikarenakan responden tersebut didiagnosa menderita GGK lebih awal, sehingga penanganan terhadap GGK tersebut dapat dilakukan lebih dini, salah satu terapinya yaitu dengan melakukan hemodialisis sebagai pengganti ginjalnya yang sudah rusak. Apabila dihubungkan dengan tingkat pendidikan responden, sebagian besar responden yang sudah lama menjalani hemodialisis pada penelitian ini berpendidikan tinggi (SMA).
          Sesuai dengan penelitian Nurchayati (2010) yang menjelaskan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang dalam mencari perawatan dan pengobatan penyakit yang dideritanya serta memilih dan memutuskan tindakan yang harus diambil ketika mengalami masalah kesehatannya. Sehingga semakin tinggi tingkat pendididikan seseorang maka akan semakin tinggi pula kesadaran seseorang untuk mencari perawatan dan pengobatan terhadap masalah kesehatan yang dialaminya.
e.    Tingkat depresi
          Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tingkat depresi sebelum diberikan intervensi yaitu 13 responden (depresi ringan), 4 responden (depresi sedang) dan 1 responden (depresi berat). Tingkat depresi kelompok kontrol saat sebelum (pengukuran awal) yaitu 12 responden (depresi ringan) dan 6 responden (depresi sedang).
          GGK merupakan suatu penyakit kronis yang progresifitasnya dapat bertambah buruk karena potensial komplikasi yang terjadi. Untuk mencegah terjadinya komplikasi, pasien yang sudah mengalami gangguan ginjal memerlukan penanganan dengan cara dialisis, salah satunya terapi hemodialisis (Smeltzer & Bare, 2002, hlm.1449). Hemodialisis merupakan suatu tindakan untuk menangani gagal ginjal dengan menggunakan mesin dialiser. Pasien yang sudah stadium 4 harus menjalani hemodialisis seumur hidupnya karena fungsi ginjal kurang dari 15% (Alam & Hadibroto, 2007, hlm.26).
          Pasien yang menjalani hemodialisis, membutuhkan waktu terapi sebanyak 12-15 jam setiap minggunya (Baradero, Dayrit & Siswadi, 2009, hlm.146). Gaya hidup akan berubah dalam keluarga selama menjalani hemodialisis. Pasien GGK akan mengalami perasaan kehilangan karena kehidupan normalnya terganggu (pekerjaan, kemandirian dan kebebasan) dengan kegiatan hemodialisis. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan psikologis pada pasien GGK. Hal ini diperkuat oleh penelitian Dewi (2013) di RSUD Wangaya Denpasar yang menjelaskan bahwa pasien GGK yang menjalani hemodialisis yang lama akan mengalami ketergantungan terhadap mesin dialisis, tenaga kesehatan dan terapi pengobatan. Ketiga hal tersebut merupakan hal yang tidak diinginkan pasien GGK yang menjalani hemodialisis, karena dapat mengakibatkan rasa marah yang tidak diungkapkan yang nantinya diproyeksikan kedalam diri sendiri dan menimbulkan rasa putus asa sehingga mengakibatkan depresi (Smeltzer & Bare, 2002, hlm.1402).
          Penelitian yang dilakukan oleh Chang, et.al., (2012) menjelaskan bahwa pasien yang  menjalani hemodialisis mengalami depresi sekitar 20-30% bahkan bisa mencapai 47%. Didukung dengan hasil penelitian Rustina (2012) bahwa prevalensi pasien GGK yang menjalani hemodialisis di RSUD Soedarso Pontianak yang mengalami depresi sebesar 24 orang (35,82%). Responden bisa mengalami depresi karena ketidakseimbangan hormon di dalam tubuh. Penurunan kadar hormon seperti endorphin, serotonin dan dopamin merupakan penyebab dari munculnya depresi (Bramastyo, 2009, hlm. 16).
          Hasil observasi pada penelitian ini, didapatkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis mengungkapkan merasa sedih, kecewa, produktivitas menurun dan mudah capek. Hal tersebut sesuai dengan gejala-gejala depresi yang diungkapkan oleh Hawari (2013, hlm.91) diantaranya yaitu perasaan sedih, bersalah, kecewa, konsentrasi menurun, mudah lelah, produktivitas menurun, nafsu makan menurun dan gangguan tidur.
          Sesudah diberikan intervensi PMR, tingkat depresi mengalami penurunan yaitu 8 responden (tidak depresi) dan 10 responden (depresi ringan). Data teresebut menunjukkan bahwa sesudah diberikan intervensi PMR pada responden terdapat penurunan tingkat depresi. Hal ini dikarenakan responden dilatih mandiri untuk peka terhadap kondisi pada saat otot tegang maupun otot rileks, dimana responden dapat merasakan kondisi rileks dan nyaman setelah latihan tersebut. Pada saat pikiran dan tubuh rileks maka pada otak akan meningkatkan sekresi hormon endorphin, melatonin dan serotonin. Hormon-hormon diatas berfungsi untuk menurunkan tingkat depresi responden (Alam & Hadibroto, 2007, hlm.102).
          Tingkat depresi saat sesudah (pengukuran akhir tanpa intervensi PMR) yaitu 15 responden (depresi ringan), 2 responden (tidak depresi), dan 1 responden (depresi sedang). Pada kelompok yang tidak diberikan PMR juga terjadi penurunan tingkat depresi. Hal ini bisa juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden.
          Pada penelitian ini, kelompok kontrol yang mengalami penurunan tingkat depresi sebagian besar tingkat pendidikannya SMA dan Perguruan Tinggi. Penelitian Wijaya (2005) mengemukakan bahwa responden yang mempunyai pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh pasien GGK yang menjalani hemodialisis, sehingga responden paham dan tahu tentang penyakitnya serta menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya menjadi lebih buruk.
          Pemahaman informasi yang baik pada responden yang depresi akan membuat responden lebih memahami dan lebih waspada terhadap kondisinya saat ini. Pada penelitian ini pemberian informasi pada pasien yang depresi berfungsi sebagai upaya dalam mekanisme koping yang baik. Pendapat itu sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Nursalam dan Kurniawati (2007, hlm.25) bahwa koping yang positif dapat digunakan untuk mengatasi stres yaitu dengan mengidentifikasi masalah dan mengontrol diri. Pemberian informasi akan membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang lebih baik.
2.    Analisis Bivariat
          Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis.
          Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis, dimana pada kelompok intervensi dapat menurunkan tingkat depresi lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan PMR dapat membuat relaksasi responden. Relaksasi otot progresif atau Progressive Muscle Relaxation (PMR) merupakan teknik relaksasi yang dilakukan dengan cara responden menegangkan dan melemaskan otot secara berurutan dan memfokuskan perhatian pada perbedaan perasaan yang dialami antara saat kelompok otot rileks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, et.al., 2011, hlm.314). Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011, hlm.107), PMR dapat membuat tubuh dan pikiran terasa tenang dan rileks.
          Responden dilatih melakukan PMR dari gerakan awal sampai akhir, dengan tujuan agar responden bisa membedakan bagaimana sensasi pada saat otot tegang maupun rileks. Selain itu, responden juga diminta untuk mengkombinasikan gerakan tersebut dengan nafas dalam, dimana setelah responden melakukan PMR, maka tubuh responden akan terasa rileks dan pikiran menjadi tenang serta nyaman. Kondisi tersebut bermanfaat untuk meningkatkan produksi endorphin, melatonin dan serotonin serta menurunkan hormon stres kortisol (Alam & Hadibroto, 2007, hlm.102).
          Endorfin merupakan hormon pemicu rasa bahagia, sedangkan melatonin dapat membuat tidur nyenyak yang diperlukan tubuh untuk memproduksi penyembuh alami berupa Human Growth Hormone (HGH) (Alam & Hadibroto,2007, hlm.102).
          Waluyo (2010, hlm.26) menjelaskan fungsi dari HGH antara lain memberikan energi (vitalitas), menjaga daya tahan tubuh, membuat tidur nyenyak, memberikan rasa nyaman dan dapat meredakan kegelisahan. Pengaruh serotonin berkaitan dengan mood, hasrat seksual, tidur, ingatan, pengaturan temperatur dan sifat-sifat sosial. Selain itu, bernapas dalam dan perlahan serta menegangkan beberapa otot selama beberapa menit dapat menurunkan produksi kortisol sampai 50%. Kortisol (cortisol) adalah hormon stres yang bila terdapat dalam jumlah berlebihan akan mengganggu fungsi hampir semua sel dalam tubuh. Menurunnya hormon kortisol serta meningkatnya hormon endorphin, serotonin dan melatonin membuat tubuh rileks, sehingga hal tersebut dapat mengurangi tekanan akibat stres (Alam & Hadibroto, 2007, hlm.102).
          Ahli fisiologis dan psikologis Emund Jacobson (1930, dalam Sustrani, Alam & Hadibroto, 2004, hlm.82) menjelaskan bahwa relaksasi otot progresif adalah cara yang efektif untuk mengurangi tekanan akibat masalah psikologis, dimana kita bisa belajar bagaimana mengistirahatkan otot-otot melalui suatu cara yang tepat. Sejalan dengan penelitian Oktavianis (2010) yang menjelaskan bahwa PMR efektif untuk menurunkan tingkat stres pada responden. Stres merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu harus melakukan perubahan dan penyesuaian atau adaptasi untuk mengatasi masalahnya. Apabila orang tidak mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut, maka akan timbul keluhan-keluhan lain, diantaranya depresi (Hawari, 2013, hlm.3).

B.  Kelemahan Penerapan Topik Jurnal
              Kelemahan penerapan jurnal ini yaitu :
1.    Tidak dapat dilakukan terapi relaksasi otot progresif secara komprehensif pada saat hemodialisa berlangsung  kerena dapat mengganggu proses sirkulasi aliran darah.
2.    Kurang cocok Bagi yang memiliki tekanan darah di atas normal ( > 120/80 mmHg). Terutama pada saat melakukan penegangan pada area leher, karena dikhawatirkan akan terjadi vaso konstriksi pembuluh darah leher
C.  Kelebihan Penerapan Topik Jurnal
              Kelebihan penerapan jurnal ini yaitu :
1.    Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolik.
2.    Mengurangi distritmia jantung, kebutuhan oksigen.
3.    Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak memfokus perhatian seperti relaks.
4.    Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.
5.    Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.
6.    Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia ringan, gagap ringan, dan
7.    Membangun emosi positif dari emosi negatif.

D.  Metode pelaksanaan topik jurnal dalam intervensi keperawatan
          Metode pelaksanaan teknik relaksasi progresif terhadap tingkat depresi dalam intervensi keperawatan   sebagai berikut :
1.    Gerakan relaksasi progresif
a.    Gerakan 1 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
a)    Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
b)   Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi.
c)    Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10 detik.
d)   Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami.
e)    Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.
b.    Gerakan 2 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
a)      Tekuk kedua lengan ke belakang pada peregalangan tangan sehingga otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang.
b)      Jari-jari menghadap ke langit-langit.
c.    Gerakan 3 : Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar padabagian atas pangkal lengan).
a)    Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b)   Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak sehingga otot biseps akan menjadi tegang.
d.   Gerakan 4 : Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.
a)      Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga menyentuh kedua telinga.
b)      Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan yang terjadi di bahu punggung atas, dan leher.
e.    Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti dahi, mata, rahang dan mulut).
a)     Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot terasa kulitnya keriput.
b)   Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata
f.     Gerakan 7 : Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi ketegangan di sekitar otot rahang.
g.    Gerakan 8 : Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut.
h.    Gerakan 9 : Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian depan maupun belakang.
a)    Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan.
b)   Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
c)    Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas.
i.      Gerakan 10 : Ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.
a)    Gerakan membawa kepala ke muka.
b)   Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka.
j.      Gerakan 11 : Ditujukan untuk melatih otot punggung
a)     Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b)   Punggung dilengkungkan
c)    Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian relaks.
d)   Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan otot menjadi lurus.
k.    Gerakan 12 : Ditujukan untuk melemaskan otot dada.
a)    Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya.
b)   Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
c)    Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
d)   Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan relaks
l.      Gerakan 13 : Ditujukan untuk melatih otot perut
a)    Tarik dengan kuat perut ke dalam.
b)   Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu dilepaskan bebas.
c)    Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.
m.  Gerakan 14-15 : Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha dan betis).
a)    Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
b)   Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga ketegangan pindah ke otot betis.
c)    Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
d)   Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.
2.    Relaksasi otot progresif  di lakukan pada saat :
              Setiap kali mengalami stres atau cemas, terapi ini bisa dilakukan dan Gerakan relaksasi ini bisa dilakukan kapan saja, tanpa pembatasan waktu dan akan memberikan efek relaks apabila dilakukan dengan benar.
3.    Lama pelaksanaan relaksasi otot progresif
           Dalam pelaksanaan relaksasi otot progresif tidak ada batasan waktu yang telah di tentukan . Gerakan  relaksasi ini dapat dapat di lakukan secara bertahap dan tidak dalam sekali waktu. Bisa membagi 15 gerakan ini dalam 2 atau 3 sesi sesuai dengan kondisi dan kemampuan.
4.    Waktu
a.    Pre- hemodialisa                                                                                        
1) Gerakan 1 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
a)    Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
b)   Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi.
c)    Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10 detik.
d)   Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami.
e)    Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.
2)   Gerakan 2 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
a)      Tekuk kedua lengan ke belakang pada peregalangan tangan sehingga otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang.
b)      Jari-jari menghadap ke langit-langit.
3)   Gerakan 3 : Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar padabagian atas pangkal lengan).
a)      Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b)      Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak sehingga otot biseps akan menjadi tegang.
4)   Gerakan 4 : Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.
a)      Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga menyentuh kedua telinga.
b)      Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan yang terjadi di bahu punggung atas, dan leher.

b.    Intra – hemodialisa
1)   Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti dahi, mata, rahang dan mulut).
a)    Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot terasa kulitnya keriput.
b)   Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.
2)   Gerakan 7 : Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi ketegangan di sekitar otot rahang.
3)   Gerakan 8 : Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut.
4)   Gerakan 9 : Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian depan maupun belakang.
a)    Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan.
b)   Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
c)    Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas.
5)   Gerakan 10 : Ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.
a)    Gerakan membawa kepala ke muka.
b)   Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka.
c.    Post – hemodialisa
1)   Gerakan 11 : Ditujukan untuk melatih otot punggung
a)    Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b)   Punggung dilengkungkan
c)    Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian relaks.
d)   Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan otot menjadi lurus.
2)   Gerakan 12 : Ditujukan untuk melemaskan otot dada.
a)    Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya.
b)   Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
c)    Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
d)   Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan relaks.
3)      Gerakan 13 : Ditujukan untuk melatih otot perut
a)    Tarik dengan kuat perut ke dalam.
b)   Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu dilepaskan bebas.
c)    Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.
4)      Gerakan 14-15 : Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha dan betis).
a)    Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
b)   Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga ketegangan pindah ke otot betis.
c)    Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
d)    Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

5.    indikasi dan Kontra indikasi
a.    Indikasi
1)   Klien yang mengalami insomnia.
2)   Klien sering stres.
3)   Klien yang mengalami kecemasan.
4)   Klien yang mengalami depresi.
b.    Kontra indikasi
1)   Klien yang mangalami hipertensi
2)   Klien yang fraktur servikal
3)   Klien yang sementara hemodialisa namun masih bisa di lakukan beberapa gerakan seperti :
a)Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti dahi, mata, rahang dan mulut).
1.      Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot terasa kulitnya keriput.
2.      Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata
b)          Gerakan 7 : Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi ketegangan di sekitar otot rahang.
c)Gerakan 8 : Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
              Depresi seringkali terjadi pada kehidupan seseorang dan disebabkan oleh semua peristiwa yang dialami sehari-hari. Salah satu terapi spesialis keperawatan jiwa sebagai penatalaksanaan cemas adalah dengan progressive muscle relaxation (relaksasi otot progresif) yang merupakan bagian dari terapi relaksasi. Teknik relaksasi otot progresif yaitu teknik yang dilakukan dengan cara peregangan otot kemudian dilakukan relaksasi otot.

B.   Saran
1.      Lakukan gerakan relaksasi ini secara bertahap dan tidak dalam sekali waktu. Bisa membagi 15 gerakan ini dalam 2 atau 3 sesi sesuai dengan kondisi dan kemampuan.
2.      Setiap kali mengalami depresi terapi ini bisa dilakukan, hati- hati bagi yang memiliki tekanan darah di atas normal ( > 120/80 mmHg). Terutama pada saat melakukan penegangan pada area leher, karena dikhawatirkan akan terjadi vaso konstriksi pembuluh darah leher



Tidak ada komentar:

Posting Komentar